Minggu, 17 Oktober 2010

Cermin Jiwa

Kubekukan wajahmu
ketika ada bias senyum mengembang
agar senyum itu tetap ada
abadi tak lekang waktu
kugantung pada dinding kamar kalbuku
tanpa bingkai tanpa kaca
seperti patung pancoran
Kunanti sudah senyum itu sejak tahunan yang lalu
Kutatap wajah itu tak berkedip
Tetap hambar terkadang kecut
Tak ada kata cerita yang membuatnya tersipu
Tak ada tingkah yang mendorong bibirnya beringsut
Tak ada nada indah yang meronakan pipinya
Entah apa yang bergejolak dalam jiwanya
Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya
Cermin itu tetap tak beriak
Tenang tak terukur
Diam tak terduga
Ingin rasanya kukatakan
Senyum itu cermin jiwa
Senyum itu lukisan hati
Senyum itu gambaran kalbu
Adakah senyum mengembang
Saat jiwa tersayat melihat penderitaan?
Adakah senyum tersipu
Dikala hati hancur luluh menyaksikan ketidakadilan?
Adakah senyum terpatri
Melihat penindasan smakin merajalela?
Ingin rasanya mengambil wajah beku dengan senyumnya
Mengukur kemiringan bibirnya
Derajat cekung pipinya
Jarak rona antara pipi dan kelopak mata
Agar setiap orang dapat mempelari
Mempraktikkan senyum-senyum tulus
Lalu untuk apa?
Bukankah senyum adalah cermin jiwa?
Yang jelas senyum itu tidak untuk dijual
Mari lakukan sesuatu!
Agar senyum mengembang di rumah, sekolah,
warung, pasar, laut, sawah dan segala tempat
Jiwa-jiwa bahagia, tenang terpancar senyum tulus
Dalam bingkai wajah merona
Akupun tak perlu membekukan wajah senyummu lagi.
Srengseng Sawah, 22 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar